Tahun ini untuk masalah rasisme dunia, PBB mengusung tema “Rasisme dan Diskriminasi – Halangan Menuju Perkembangan”. Hari Penghapusan Diskriminasi Rasial Sedunia dimulai dengan sebuah insiden pada tanggal 21 Maret 1960, ketika polisi dan pengunjuk rasa melakukan kerusuhan di Sharpeville, Afrika Selatan. Para demonstran memprotes undang-undang yang rasis dan diskriminatif. Enam puluh sembilan  orang tewas dan puluhan luka-luka.

Pada tahun 1966, Dewan Keamanan PBB menyatakan 21 Maret sebagai Hari Penghapusan Diskriminasi Rasial Sedunia untuk memperingati tragedi Sharpeville. Tahun 1979, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa menerbitkan proklamasi resmi yang meminta semua negara untuk merayakan Hari Penghapusan Diskriminasi Rasial Sedunia.

Namun, Dirjen UNESCO menyatakan bahwa diskriminasi ras di masa lalu memang tidak bisa dianggap sebagai sejarah kelam karena diskriminasi ras masih ditemukan dalam kehidupan sehari-hari.

Seperti di Indonesia, demonstrasi anti rasis terhadap mahasiswa Papua di Surabaya menyebabkan 27 orang tewas, 77 luka-luka dan lebih dari 700 orang ditangkap di beberapa kota di Papua. Terjadinya operasi militer di Nduga tahun 2019, mengakibatkan penganiayaan terhadap warga Papua. Sebanyak 37.000 orang mengungsi dari kampung halamannya dan 241 orang meninggal dunia. Sejauh ini operasi militer belum dihentikan sehingga nasib korban tewas dan pengungsi internal (IDPs) masih belum pasti. 

Alasan utama mengapa kita harus saling menghargai perbedaan, yaitu agar terciptanya kedamaian dalam berkehidupan. Tentu setiap orang menginginkan kedamaian dalam hidupnya. Artinya, jika perbedaan tidak kita hargai, tentu akan muncul sikap saling menjatuhkan. Oleh karenanya, mari kita ciptakan kehidupan yang rukun, damai, dan menghargai setiap manusia yang ada di bumi. Karena setiap orang berharga dan berhak mendapatkan haknya sebagai manusia.